Search This Blog

Prawoto R Sujadi: Menginspirasi pada sesuatu yang sifatnya sepele

13 perempuan menginspirasi pada sesuatu yang sifatnya sepele.

Prawoto R Sujadi
SMAN 2 Bojonegoro

http://www.facebook.com/prawoto/posts/2871845556748

Maria Dorotea: Menarik dan sangat simbolik

13 Perempuan: menarik sekali, gambaran yang sederhana dan nyata terangkai sangat simbolik

Maria DoroTea
UKSW Salatiga

http://www.facebook.com/prawoto/posts/2871845556748

Setelah 13 Perempuan

"Pengarang sudah mati", kata-kata Roland Barthes ini menghantuiku untuk tidak berkata apa pun tentang buku "13 Perempuan" sesudah buku ini terbit. Diamku ini kulakukan juga saat bedah buku "13 Perempuan: di Perpusda Provinsi Banten di Serang. Seorang peserta atau pembicara -aku lupa- menanyakan sesuatu tentang buku ini padaku. Alih-alih ikut naik panggung, aku bersikukuh duduk di antara para peserta bedah buku, dan di tengah-tengah mereka aku berdiri lalu berkata, "Biarlah yang ahli cerpen dan duduk di depan yang berkomentar."

Kompasiana: Realis Cenderung Naturalistik, Humanis Realis Kadang Ironis

http://media.kompasiana.com/buku/2011/12/08/13-perempuan-realis-cenderung-naturalistik-humanis-realis-kadang-ironis/

Cerpen Indonesia

Cerpen Indonesia Pilihan

13 Perempuan: Realis Cenderung Naturalistik, Humanis Realis Kadang Ironis


1323308852621913949
Ahmadun Yosi Herfanda (kiri) dan Kurnia Effendi (kanan)
.
Dalam Rangka Hari Kunjung Perpustakaan 2011, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Provinsi Banten telah menyelenggarakan Bedah Buku “13 Perempuan” pada Rabu, 16 November 2011 pukul 10.00 sampai dengan pukul 12.00 WIB. Acara bertempat di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Banten, Jl. Raya Serang - Jakarta, Km 4, Kota Serang, Banten, dihadiri oleh siswa dan guru sekolah, serta kalangan masyarakat umum.
Buku 13 Perempuan merupakan buku kumpulan cerpen (cerita pendek) karya Yonathan Rahardjo, yang diterbitkan oleh Penerbit Nuansa Cendekia Bandung pada 2011 ini. Acara bedah buku sebagai salah satu rangkaian acara Hari Kunjung Perpustakaan 14-16 Nopember yang dimotori oleh aktivis sastra budaya Gito Waluyo ini, dimulai oleh pemimpin acara penyair Mahdiduri menampilkan pembacaan puisi oleh seniman Banten. Acara masuk inti bedah buku dengan presentasi para pembicara oleh Moderator Arif Sanjaya.
Sebagai pembicara pertama adalah Ahmadun Yosi Herfanda, penyair dan sastrawan nasional yang Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan Redaktur Budaya Harian Republika Jakarta. Sebagai pembicara kedua Kurnia Effendi, cerpenis dan sastrawan nasional.

Realis Cenderung Naturalistik
Dalam presentasinya, yang juga tertuang dalam makalah yang berjudul “Mengapresiasi 13 Perempuan Yonathan, Catatan Ahmadun Yosi Herfanda”, Ahmadun memulai dengan pernyataannya, “Di tangan saya hari ini ada 13 cerpen karya Yonathan Rahardjo, 13 cerita pendek yang sebagian besar berbicara tentang perempuan. Karena itu, buku kumpulan cerpen yang merangkum ke-13 cerpen tersebut diberinya judul 13 Perempuan.”
Menurut Ahmadun Yosi Herfanda, judul tersebut mengisyaratkan bahwa semua cerpen dalam buku ini berbicara tentang perempuan. Cerpen “Kekuatanku” (pernah dimuat di surat kabar harian Suara Karya, Red), misalnya, mengisahkan pedagang warung tenda pecel lele yang dua kali diusir dari tempatnya berjualan oleh seorang haji pemilik lahan tersebut. Atas bantuan seorang marinir, akhirnya dia mendapatkan tempat berjualan di seberang tempatnya semula berjualan. Ternyata laris, dan lahan milik seorang haji yang dia tinggalkan jadi sepi dan kosong melompong.
“Cerpen-cerpen Yonathan umumnya adalah cerpen realis yang cenderung naturalistik,” kata Ahmadun seraya memaparkan, cerpen realis adalah cerpen yang mengisahkan realitas sosial secara apa adanya, tanpa menyertakan rasa simpati maupun antipati, sehingga paparan persoalannya bersifat obyektif. Sebagai contoh, katanya, adalah cerpen “Kekuatanku” tadi, yang mengisahkan perselisihan antara Pak Haji dengan pedagang warung tenda secara apa adanya, sesuai yang sering terjadi di dalam realitas kehidupan nyata sehari-hari.
Selanjutnya menurut Ahmadun, beberapa cerpen Yonathan juga cenderung naturalistik, yakni melukiskan realitas yang buruk-buruk. Sebagai contoh adalah “Cerita Perempuan” (pernah dimuat di Koran Sindo, Red), yang mengisahkan sekelompok perempuan yang saling menceritakan kenangan mereka masing-masing. Salah satu tokoh perempuan menceritakan skandal cintanya dengan seorang pengarang. Kejutan akhirnya, pengarang dan perempuan itu diberitakan tewas berpelukan.
Ahmadun Yosi Herfanda pun menyatakan, “Keunggulan cerpen-cerpen Yonathan ada pada bagian yang ini, yakni cerpen-cerpen yang digarap dengan lebih serius, dengan citarasa sastrawi yang lebih terasa.” Misalnya, Ahmadun memberi contoh cerpen-cerpen Yonathan yang berjudul “Banjir Bik Sarti” (Jurnal Nasional, Red), “Korban Banjir” (Majalah Majemuk, Red), dan “Hubungan Abadi” (Majalah Hidup, Red). Menurut Ahmadun, cerpen-cerpen ini umumnya juga kental warna sosial tapi digarap tidak sebatas sketsa, namun dengan sentuhan sastra yang lebih terasa. Cerpen-cerpen pada bagian ini umumnya juga bercerita tentang perempuan, mengisahkan perempuan-perempuan yang ada di sekitar kehidupannya, sejak neneknya, emaknya, tetangganya, sampai perempuan-perempuan fiktif yang mampir ke dalam imajinasinya.
Yang paling menarik dari cerpen-cerpen Yonathan, lanjut Ahmadun, barangkali cerpen “Di Balik Gunung” (Sinar Harapan, Red) dan cerpen “Hubungan Abadi”. Hanya, katanya, judulnya yang kurang eye catching, tapi narasinya cukup indah dan sastrawi. Cerpen “Hubungan Abadi” mengisahkan seorang tokoh (karakter) yang sering dihampiri banjir. Pada air banjir yang kecoklatan ia biasa berkaca. Tapi, “Kali ini yang tampak pada air bukan wajahnya, namun wajah almarhum emaknya, dan saat itulah kenangan-kenangan indah bersama sang emak terputar kembali. Kehadiran wajah sang emak makin mengepungnya, tampak di mana-mana, dan menggelisahkannya. Bayangan wajah emak baru hilang ketika sang tokoh (aku, seorang perempuan) mendoakan kebaikan sang emak,” papar penyair Indonesia ini.
Cerpen lain Yonathan yang menurut Ahmadun Yosi Herfanda bagus adalah “Rumah Warisan”, yang pernah dimuat di Harian Republika yang diredakturi olehnya.

Humanis Realis Kadang Ironis
Mengutarakan pendapat di depan hadirin yang juga tertuang di dalam makalahnya yang berjudul “Penyuluh dalam Pembuluh, Pembicaraan mengenai Yonathan Rahardjo”, pembicara kedua cerpenis dan sastrawan Kurnia Effendi mengatakan , “Dalam bedah buku kumpulan cerpen 13 Perempuan, saya tidak menganalisis dari sisi literasi, agar berbagi sudut pandang dengan Ahmadun Yosi Herfanda.”
Menurut Kurnia Effendi, secara garis besar, tiga belas cerpen yang terkumpul dalam antologi tunggal itu mengusung tema humanis. Ada beberapa cerpen yang bercerita tentang banjir di Jakarta (lingkungan), tanah warisan (keluarga), dan cinta. Tidak ada tokoh superhero di sana, tidak ada pula dominasi karakter tertentu, semua hadir dalam suasana yang realistis. Dan kadang-kadang ironis.
Sebelumnya, Kurnia Effendi mengajak peserta acara, “Mari kita lirik sekilas karya-karyanya (Yonathan Rahardjo, Red). Baik yang memenangkan sayembara (novel Lanang, 2008), atau yang dihimpun dari yang terserak dalam banyak media cetak. Cukup mengesankan. Mengapa?” gugah Kurnia Effendi.
Ungkap sastrawan ini, “Yonathan mengirimkan dan mengumumkan cerpen-cerpennya ke pelbagai nama koran atau majalah atau jurnal atau semacam media berkala yang sebagian besar baru saya kenal namanya. Di mana media cetak itu terbit dan beredar? Ini semacam cara khas yang seolah menghindari pusat. Yonathan begitu peduli pada “daerah pinggiran” dan itu cukup terbaca dengan materi cerpen yang diusung: realitas yang umum terjadi di permukiman urban, persoalan yang muncul di tengah masyarakat yang berjarak (meskipun tinggal di kota besar, tetapi dalam wilayah yang kerap terendam banjir).”
Fakta yang lain, ungkap Kurnia Effendi, tulisan Yonathan yang realis itu juga mengisi ruang-ruang baca dalam khazanah relijius. Beberapa nama media itu menunjukkan segmen tertentu dengan khalayak pembaca tertentu. “Dari hulu yang sama, sastra, Yonathan mengalirkan buah pikirannya dari hasil memotret lingkungan kehidupannya ke ladang-ladang yang beragam. Saya rasa ia bahkan tak berambisi untuk menjadi ternama oleh sebuah karya, namun lebih menitikberatkan menjadi penyuluh dengan sikap-sikap sederhana. Elan semangatnya ditujukan untuk penyadaran bahwa di tengah masyarakat kita masih (entah sampai kapan) terdapat ketidakadilan, bencana politik, penindasan fisik dan psikis, dan rupa-rupa kejadian yang patut dicermati,” tegas cerpenis Indonesia ini.
Presentasi dua pembicara yang dimoderatori oleh pegiat sastra Arif Sanjaya itu berlanjut semarak dengan tanya jawab dengan begitu banyak pertanyaan oleh peserta. kompasiana.com/cerpenindonesia

Faiz Manshur: Asmara, rindu, dendam, seks, dan spiritualitas menggumpal menjadi sebuah pesona unik.

Kisah-kisah kehidupan kaum hawa yang diangkat melalui cara khusus menghasilkan cerita menawan. Yonathan Rahardjo mampu menguak batin perempuan. Buku ini spesial dipersembahkan untuk kaum hawa yang ingin menyadari jiwanya dgn cara lain. Asmara, rindu, dendam, seks, dan spiritualitas menggumpal menjadi sebuah pesona unik. Bacalah dgn batinmu.

13 Perempuan (dalam Fiksi seorang Yonathan Rahardjo)/-asmara-rindu-dendam-seks-impian-naluri-penindasan-tragedi-motivasi. Makna di dalamnya mampu mengungkapkan isi batin Anda yang selama ini sulit terungkap. Ceritanya pendek, tetapi isinya memanjangkan renungan tentang hidup dan bagaimana seharusnya kita menerima kenyataan atas hidup ini.

Faiz Manshur
Penerbit Nuansa Cendekia, Bandung

Anton Kurnia: Kumpulan cerita penuh kejutan


"Yonathan Rahardjo sungguh pengarang yang tekun dan tak kenal menyerah. Kumpulan cerita penuh kejutan ini adalah sebuah bukti upaya yang patut diapresiasi."

-Anton Kurnia, penulis cerpen dan esai, mantan tetangga Yonathan Rahardjo

Soe Tjen Marching: Menarik untuk disimak karena di berbagai kehalusan perasaan tersirat,-inilah kemahiran menulis yang cukup mengesankan.


Bagaimana kisah para perempuan ditulis oleh seorang lelaki? Penokohan dan heroisme lelaki memang masih kuat dalam beberapa tulisan di dalamnya, namun inilah sebuah karya menarik untuk disimak karena di berbagai kehalusan perasaan tersirat,-inilah kemahiran menulis yang cukup mengesankan.


-Soe Tjen Marching, Komponis, Doktor Studi Perempuan-Perempuan Indonesia,
Monash University, Australia.

Keterangan foto: Soe Tjen Marching di depan peserta kopi darat Grup Lingkar Puisi Prosa Lembaga Bhinneka di Surabaya 3-4 Nopember 2012

Chairil Gibran Ramadhan: Melewatkan cerita di dalamnya adalah sebuah kerugian bagi nurani dan moral

"Angka 13 ditakuti karena mengandung kesialan. Dan menjadi perempuan adalah bentuk kesialan yang lain karena kerap menjadi korban kekuasaan laki-laki. Tapi di tangan Yonathan Rahardjo yang terwujud adalah kelembutan, kesahajaan, dan keramahan. Melewatkan cerita di dalamnya adalah sebuah kerugian bagi nurani dan moral."

-Chairil Gibran Ramadhan, Sastrawan Betawi, Eseis;
Penulis Buku Perempuan di Kamar Sebelah: Indonesia, Women & Violence.

Acep Zamzam Noor: Salah satu dari sedikit kumpulan cerita pendek yang mampu menyentuh saya sebagai pembaca

“Saya bukan seorang pengamat cerita pendek yang intens, namun saya selalu merasa tersentuh bahka tercerahkan setiap kali membaca cerita pendek yang baik. Buku ini termasuk salah satu dari sedikit kumpulan cerita pendek yang mampu menyentuh saya sebagai pembaca.”

-Acep Zamzam Noor, Penyair Tasikmalaya.

DATA BUKU


Judul Buku: 13 PEREMPUAN.
Jenis: Kumpulan Cerpen
Penerbit: Medium (Grup Nuansa Cendekia, Bandung)
Terbit pertama kali: Juli, 2011
Tebal: 120 Hlm
ISBN : 978-602-8144-10-0
Harga: Rp 21.000.
Beredar dan dapatkan di: Toko Buku Gramedia, Gunung Agung, Togamas dll

Kisah-kisah kehidupan kaum hawa yang diangkat melalui cara khusus menghasilkan cerita menawan. Yonathan Rahardjo mampu menguak batin perempuan. Buku ini spesial dipersembahkan untuk kaum hawa yang ingin menyadari jiwanya dgn cara lain. Asmara, rindu, dendam, seks, dan spiritualitas menggumpal menjadi sebuah pesona unik. Bacalah dgn batinmu.

13 Perempuan (dalam Fiksi seorang Yonathan Rahardjo)/-asmara-rindu-dendam-seks-impian-naluri-penindasan-tragedi-motivasi. Makna di dalamnya mampu mengungkapkan isi batin Anda yang selama ini sulit terungkap. Ceritanya pendek, tetapi isinya memanjangkan renungan tentang hidup dan bagaimana seharusnya kita menerima kenyataan atas hidup ini.

Endorsement:

Endorsement:

"Yonathan Rahardjo sungguh pengarang yang tekun dan tak kenal menyerah. Kumpulan cerita penuh kejutan ini adalah sebuah bukti upaya yang patut diapresiasi."
-Anton Kurnia, penulis cerpen dan esai, mantan tetangga Yonathan Rahardjo

Bagaimana kisah para perempuan ditulis oleh seorang lelaki? Penokohan dan heroisme lelaki memang masih kuat dalam beberapa tulisan di dalamnya, namun inilah sebuah karya menarik untuk disimak karena di berbagai kehalusan perasaan tersirat,-inilah kemahiran menulis yang cukup mengesankan.
-Soe Tjen Marching, Komponis, Doktor Studi Perempuan-Perempuan Indonesia,
Monash University, Australia.

"Angka 13 ditakuti karena mengandung kesialan. Dan menjadi perempuan adalah bentuk kesialan yang lain karena kerap menjadi korban kekuasaan laki-laki. Tapi di tangan Yonathan Rahardjo yang terwujud adalah kelembutan, kesahajaan, dan keramahan. Melewatkan cerita di dalamnya adalah sebuah kerugian bagi nurani dan moral."
-Chairil Gibran Ramadhan, Sastrawan Betawi, Eseis;
Penulis Buku Perempuan di Kamar Sebelah: Indonesia, Women & Violence.

“Saya bukan seorang pengamat cerita pendek yang intens, namun saya selalu merasa tersentuh bahka tercerahkan setiap kali membaca cerita pendek yang baik. Buku ini termasuk salah satu dari sedikit kumpulan cerita pendek yang mampu menyentuh saya sebagai pembaca.”
-Acep Zamzam Noor, Penyair Tasikmalaya.

Djarwatiningrum Peni: Berapa Jempol untuk Cerpen-cerpen 13 Perempuan?

Djarwatiningrum Peni, Surabaya


"Cerita Perempuan"..., alurnya agak semrawut, tapi akhirnya mengagetkan di luar dugaan..., Ok...

Dua jempol untuk "Tanya Tukang Cuci", alurnya rapi, enak dibaca, ada klimaksnya. Endingnya tidak terduga. Bagus.

Jempol satu untuk "Kekuatanku". Sederhana tapi aku bisa merasakan gregetnya..., usahanya...

"Cermin Peninggalan", ini baru oke. Satu jempol.

"Rumah Warisan", aku suka. Tapi masih satu jempol, belum terlalu istimewa.

"Tetangga Nenek", alurnya mulai tidak rapi lagi. Tata bahasanya aneh lagi. Bacanya agak bingung.

"Banjir Bik Sarti", lumayan tapi sori tanpa jempol. Klimaksnya kurang oke.

"Hubungan Abadi", aku suka. Menunjukkan identitas penulisnya, tapi belu, jempol.

"Anak Walikota", alurnya tidak rapi, agak membingungkan.

Baca cerpen "Di Balik Gunung", kayak belajar cerpen. Inti ceritanya hanya ketangkap di akhir cerita saja. Betul ya, waktu nulis lagi rindu sama seseorangkah?

Kunia Effendi: Realis Humanis Kadang Ironis

-->

PENYULUH DALAM PEMBULUH

by Kurnia Effendi on Friday, 18 November 2011 at 10:36
-          Pembicaraan mengenai Yonathan Rahardjo

Siapa Yonathan Rahardjo? Barangkali, saya perlu bercerita bahwa saya banyak membaca namanya dalam pelbagai aktivitas sebelum bertemu dengan orangnya. Namun ketika berjumpa dan berkenalan dengan sosoknya, baru menyadari bahwa alangkah seringnya kami bertemu di sekitar Taman Ismail Marzuki. Dengan kata lain, antara nama dan sosoknya bersilang-arus dalam pergaulan saya dengannya.

Lebih jauh ke dalam: siapa Yonathan Rahardjo? Apakah ia seorang jurnalis yang selalu “merekam” hampir setiap diskusi sastra dan budaya yang berlangsung di komunitas-komunitas penulis dan pekerja seni Jakarta? Tak lama kemudian saya tahu bahwa ia juga seorang artis, pekerja seni yang bergiat di ranah prosa dan puisi. Tetapi, tunggu dulu, setidaknya saya telah dua kali menyaksikan semacam happening art Yonathan Rahardjo, ketika ia membaca puisi sambil melukis. Salah satunya di Warung Apresiasi Bulungan dalam acara Sastra Reboan.

Kini saya ingat, tiga tahunan silam, ia bersama rekan-rekan penggiat budaya yang mencintai “pluralisme” dan menghargai para penulis marjinal; menggagas adanya medium sastra yang bersifat “non blok” di Bulungan. Seperti yang kemudian menjadi tagline hingga kini, “banyak pintu menuju sastra”, saya kira ada peran Yonathan di sana. Jika kemudian ia surut dari komunitas itu, dengan alasan apa pun, menunjukkan bahwa ia mencintai banyak hal sekaligus ingin mengerjakan banyak hal tanpa ikatan yang justru membelenggunya.

Mari kita lirik sekilas karya-karyanya. Baik yang memenangkan sayembara (novel Lanang, 2008), atau yang dihimpun dari yang terserak dalam banyak media cetak. Cukup mengesankan. Mengapa? Yonathan mengirimkan dan mengumumkan cerpen-cerpennya ke pelbagai nama koran atau majalah atau jurnal atau semacam media berkala yang sebagian besar baru saya kenal namanya. Di mana media cetak itu terbit dan beredar? Ini semacam cara khas yang seolah menghindari pusat. Yonathan begitu peduli pada “daerah pinggiran” dan itu cukup terbaca dengan materi cerpen yang diusung: realitas yang umum terjadi di permukiman urban, persoalan yang muncul di tengah masyarakat yang berjarak (meskipun tinggal di kota besar, tetapi dalam wilayah yang kerap terendam banjir).

Fakta yang lain, tulisannya yang realis itu juga mengisi ruang-ruang baca dalam khazanah relijius. Beberapa nama media itu menunjukkan segmen tertentu dengan khalayak pembaca tertentu. Dari hulu yang sama, sastra, Yonathan mengalirkan buah pikirannya dari hasil memotret lingkungan kehidupannya ke ladang-ladang yang beragam. Saya rasa ia bahkan tak berambisi untuk menjadi ternama oleh sebuah karya, namun lebih menitikberatkan menjadi penyuluh dengan sikap-sikap sederhana. Elan semangatnya ditujukan untuk penyadaran bahwa di tengah masyarakat kita masih (entah sampai kapan) terdapat ketidakadilan, bencana politik, penindasan fisik dan psikis, dan rupa-rupa kejadian yang patut dicermati.

Apakah cara Yonathan mampu mengubah cara berpikir masyarakat (pembacanya)? Pertanyaan klasik ini tak mungkin dijawab dalam kalimat tunggal yang sederhana, selalu perlu disertai dengan disertasi atau argumentasi panjang lebar. Namun, kepeduliannya yang kental itu sudah menjadi bagian hidup yang dijalaninya. Jika dalam amanat seorang muslim, “sampaikan kebenaran walaupun hanya dalam satu ayat”, Yonathan tak kunjung henti mengungkap sisi baik dan sisi buruk yang terjadi di tengah Indonesia dengan cara menulis cerpen atau puisi.

Yonathan tidak sedang membuat masterpiece untuk kemudian mengagungkan satu karya ke mana-mana, tetapi lebih mendekati pembuluh utama dalam kehidupan. Yonathan ingin turut merasakan apa yang sedang berlangsung dari hari ke hari, melalui dua profesinya. Sejatinya ia seorang dokter hewan. Menyusul tiga sastrawan dokter hewan pendahulunya (Marah Rusli, Asrul Sani, dan Taufiq Ismail), Yonathan tidak meninggalkan ilmu dari latar pendidikannya. Setidaknya ia tercatat sebagai salah seorang dari 100 Dokter Hewan Berprestasi dalam rangka 100 Tahun Dokter Hewan Indonesia. Prestasi itu bukan semata tersemat, namun dibuktikan dengan sejumlah tulisan yang membahas perihal dunia kehewanan. Bahkan, saya kira, novel Lanang yang ikut memenangi lomba novel DKJ 2006 juga menyentuh keilmuan tentang hewan.

Dalam bedah buku kumpulan cerpen 13 Perempuan, saya tidak menganalisis dari sisi literasi, agar berbagi sudut pandang dengan Ahmadun Yosi Herfanda. Secara garis besar, tiga belas cerpen yang terkumpul dalam antologi tunggal itu mengusung tema humanis. Ada beberapa cerpen yang bercerita tentang banjir di Jakarta (lingkungan), tanah warisan (keluarga), dan cinta. Tidak ada tokoh superhero di sana, tidak ada pula dominasi karakter tertentu, semua hadir dalam suasana yang realistis. Dan kadang-kadang ironis.

Mengenal Yonathan Rahardjo adalah mengenal pribadi yang rendah hati. Ia bekerja dengan dedikasi yang tinggi (menjadi penulis maupun menjadi ahli hewan), penuh kepedulian dan keterlibatan. Dalam peta sastra Indonesia, Yonathan Rahardjo boleh dicatat sebagai penggiat angkatan 2000-an, dengan tulisannya yang tersebar ke berbagai daerah. Bahkan pada tahun 2009, ia terpilih oleh kurator menjadi penulis Indonesia peserta Ubud Writers and Readers Festival di Bali. Ia memiliki peran dalam sejumlah komunitas sastra, namun seperti saya sampaikan, tidak butuh terikat lantaran jiwanya ingin selalu bebas. Sikap itu akan memudahkannya berkarya tanpa ketergantungan terhadap “konstituen”, sekaligus menghidupkan misinya untuk terus menyalakan suluh memasuki setiap pembuluh kehidupan masyarakat. Dengan pandangan yang egaliter dan independen itu, justru Yonathan jadi produktif.

Mendiskusikan Yonathan Rahardjo, saya kira tidak terbatas mengenai bagaimana cara ia menulis dan menyampaikan gagasan. Tak kalah penting, justru bagaimana ia memosisikan diri  sebagai penulis di hadapan materi yang terhampar dan proses pergulatan antara pikiran dan perasaan. Ia telah cukup intens menyuarakan kaum yang mungkin tidak bahagia dalam kehidupan berat ini, tanpa maksud ingin dipuji atau menjadi “nabi”. Mungkin ada keberpihakan, dan itu pasti punya alasan sebagai penulis yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Deskripsi singkat ini, semoga menjadi umpan yang berhasil untuk sebuah diskusi yang hangat.

***

Jakarta, 16 November 2011
(Makalah ini ditulis untuk bahan diskusi bedah buku 13 Perempuan karya Yonathan Rahardjo di Perpustakaan Umum Banten, 16 November 2011)

Ahmadun Yosi Herfanda: Realis Cenderung Naturalistik

Mengapresiasi 13 Perempuan Yonathan
Catatan Ahmadun Yosi Herfanda

Di tangan saya hari ini ada 13 cerpen karya Yonathan Rahardjo, 13 cerita pendek yang sebagian besar berbicara tentang perempuan. Karena itu, buku  kumpulan cerpen yang merangkum ke-13 cerpen tersebut diberinamnya judul 13 Perempuan.
Judul tersebut mengisyaratkan bahwa semua cerpen dalam buku ini berbicara tentang perempuan. Cerpen "Kekuatanku", misalnya, mengisahkan pedagang warung tenda pecel lele yang dua kali diusir dari tempatnya berjualan oleh seorang haji pemilik lahan tersebut. Atas bantuan seorang marinir, akhirnya dia mendapatkan tempat berjualan di seberang tempatnya semula berjualan. Ternyata laris, dan lahan milik seorang haji yang dia tinggalkan jadi sepi dan kosong melompong.
Itu sebuah kisah biasa, ringan, mirip feature kedai kopi, kisah yang dialami oleh para pedagang warung tenda, yang mengontrak lahan kosong di tepi jalan untuk berjualan. KIsah biasa itu juga diungkap secara biasa pula. Nyaris tidak ada bagian yang unik, juga tidak memancarkan kearifan hidup yang menggugah nurani pembaca, selain potret buram seorang haji yang sirik mellihat kesuksesan pedagang warung tenda, dan rasa dendam sang pedagang pada Pak Haji yang pernah mengusirnya.
Cerpen "Kekuatanku" mewakili karakter cerpen-cerpen ringan Yonathan. Kental warna sosial, namun dikisahkan secara ringan, dengan bahasa keseharian yang hambar cita rasa sastra. Sehingga, cerpen-cerpen Yonathan terasa ringan untuk dibaca, dan habis disantap dalam sekali baca. Memang, menurut Edgar Allan Poe, cerpen adalah prosa yang habis dibaca dalam tempo sekali duduk. Jadi, cerpen adalah prosa yang pendek dan ringan, sehingga habis dibaca dalam tempo sekali duduk - beberapa menit.
Tentu, definisi cerpen yang ideal lebih dari itu. Cerpen adalah fiksi atau cerita rekaan yang mengungkapkan satu masalah tunggal dengan satu ide tunggal yang disebut "ide pusat". Bahkan, menurut konsep creative writing, karena cerpen merupakan salah satu ragam terpenting creative writing, maka di dalam cerpen hendaknya terkandung ide-ide baru (inovatif), menghibur, berguna, dan mencerahkan - sesuai dengan anjran Horatius bahwa sastra mesti  dulce at utile (indah dan berguna).
Sesuai dengan hakikat cerpen sebagai cerita rekaan, maka cerpen harus mengandung elemen tema cerita, karakter, latar, alur (plot), persoalan, dan sudut pandang. Plot sendiri, untuk cerpen realistik, memiliki anatopi lengkap berupa paparan, konflik, klimaks, penyelesaian, dan ending. Dan, menurut sang pencetus creative writing, Ralph Waldo Emerson, itulah elemen-elemen sastra dalam genre creative fiction.

Realis-naturalistik
Cerpen-cerpen Yonathan umumnya adalah cerpen realis yang cenderung naturalistik. Cerpen realis adalah cerpen yang mengisahkan realitas sosial secara apa adanya, tanpa menyertakan rasa simpati maupun antipaati, sehingga paparan persoalannya bersifat obyektif. Sebagai contoh adalah cerpen "Kekuatanku" tadi, yang mengisahkan perselisihan antara Pak Haji denganpedagang warung tenda secara apa adanya, sesuai yang sering terjadi di dalam realitas kehidupan nyata sehari-hari.
Beberapa cerpen Yonathan jugs cenderung naturalistik, yakni melukiskan realitas yang buruk-buruk. Sebagai contoh adalah "Cerita" perempuan, yang mengisahkan sekelompok perempuan yang saling menceritakan kenangan mereka masing-masing. Salah satu tokoh perempuan menceritakan skandal cintanya dengan seorang pengarang. Kejutan akhirnya, pengarang dan perempuan itu diberitakan tewas berpelukan.
Sebagai cerpen realis, plot kedua cerpen Yonathan di atas -"Cerita Perempuan" dan "Kekuatanku"- datar-datar saja, dengan karakterisasi dan konflik yang kurang tajam, dan latar yang kurang hidup. Suspense-nya juga kurang terbangun di awal cerita. Padahal, elemen-elemen cerpen, yang berupa unsur-unsur pembangun cerit -tema, karakter, suspen, latar, plot, konflik, klimaks, penyelesaian, dan ending- itulah kekuatan fiksi realis. Jadinya, cerpen-cerpen Yonathan lebih mirip sketsa-sketsa sosial.
Cerpen "Cerita Perempuan", misalnya, dari awal hingga akhir nyaris tidak ada yang menarik, datar saja, tanpa suspense, tanpa konflik yang tajam, dan tanpa klimaks. Hanya cerita beberapa perempuan yang saling bercerita pengalamannya, pengalaman yang sama tentang sebuah kehidupan di sebuah pedesaan lereng gunung tepi hutan. Hanya pada akhir cerita ada sedikit kejutan: salah satu perempuan yang kisahnya akan ditulis menjadi novel diberitakan tewas berpelukan dengan sang pengarang, tanpa diceritakan apa sebabnya:

"Aku mau menuliskan kisah kita."
"Apa itu?"
....
Tanpa ucap, keesokan harinya, beberapa koran memberitakan peristiwa dengan ilustra  si foto besar dan berwarna, dengan tulisan judul berukuran besar.
Salah satunya: "PENGARANG DAN PEREMPUAN TEWAS BERPELUKAN."

Begitu juga cerpen "Kekuatanku", lebih mirip sketsa kehidupan, atau feature kedai kopi yang ringan. Seorang pedagang warung tenda pecel lele yang laris diusir oleh Pak Haji, karena lahannya akan ditempati oleh saudaranya untuk berjualan makanan juga, lalu ia pindah ke lahan kosong di sebelahnya, yang juga milik Pak Haji, tapi akhirnya diusir juga. Akhirnya ia pindah ke seberang jakan dan laris juga. Sementara kontrakan Pak Haji jadi kurang laku dan warung tenda saudara Pak Haji juga sepi. Begitu saja, tanpa karakterisasi dan konflik yang tajam, juga tanpa sentuhan bahasa sastra yang indah dan imajinatif.

Kisah Perempuan
Keunggulan cerpen-cerpen Yonathan ada pada bagian yang ini, yakni cerpen-cerpen yang digarap dengan lebih serius, dengan citarasa sastrawi yang lebih terasa. Misalnya, "Banjir Bik Sarti", "Korban Banjir", dan "Hubungan Abadi". Umumnya juga kental warna sosialk tapi digarap tidak sebatas sketsa, namun dengan sentuhan sastra yang lebih terasa.
Cerpen-cerpen pada bagian ini umumnya juga bercerita tentang perempuan, mengisahkan perempuan-perempuan yang ada di sekitar kehidupannya, sejak neneknya, emaknya, tetangganya, sampai perempuan-perempuan fiktif yang mampir ke dalam imajinasinya.
Yang paling menarik, barangkali cerpen "Di Balik Gunung" dan cerpen "Hubungan Abadi". Hanya, judulnya yang kurang eye caching, tapi narasinya cukup indah dan sastrawi. Cerpen "Hubungan Abadi" mengisahkan seorang tokoh (karakter) yang sering dihampiri banjir. Pada air banjir yang kecoklatan ia biasa berkaca.
Tapi, kali ini yang tampak pada air bukan wajahnya, namun wajah almarhum emaknya, dan saat itulah kenangan-kenangan indah bersama sang emak terputar kembali. Kehadiran wajah sang emak makin mengepungnya, tampak di mana-mana, dan menggelisahkannya. Bayangan wajah emak baru hilang ketika sang tokoh (aku, seorang perempuan) mendoakan kebaikan sang emak.
Begitulah sekilas cerpen-cerpen Yonathan dalam buku 13 Perempuan. Ada cerpen yang lemah, ada pula yang kuat. Memang, seorang cerpenis, yang kampium sekalipun, tidak selalu dapat melahirkan cerpen-cerpen yang bagus. Banyak yang bagus, tak kurang yang buruk. Cerpenis sekelas Putu Wijaya dan Seno Gumira Ajidarma pun banyak menulis cerpen buruk, meski tidak kurang cerpennya yang bagus dan
fenomenal.
Jadi, kasus Yonathan adalah kasus yang wajar-wajar saja dalam dunia creative writing. Jadi, tidak perlu disesalkan. Dengan disertakannya cerpen-cerpen yang lemah, di tengah cerpen-cerpen yang kuat, justru memberikan gambaran yang lebih utuh tentang wajah seorang cerpenis. Salam!

Pamulang, 14 November 2010.
(Disampaikan dalam Bedah Buku 13 Perempuan di Badan Perpustakaan dan Arsip Derah Provinsi Banten, Serang, 16 November 2011)