Search This Blog

Kunia Effendi: Realis Humanis Kadang Ironis

-->

PENYULUH DALAM PEMBULUH

by Kurnia Effendi on Friday, 18 November 2011 at 10:36
-          Pembicaraan mengenai Yonathan Rahardjo

Siapa Yonathan Rahardjo? Barangkali, saya perlu bercerita bahwa saya banyak membaca namanya dalam pelbagai aktivitas sebelum bertemu dengan orangnya. Namun ketika berjumpa dan berkenalan dengan sosoknya, baru menyadari bahwa alangkah seringnya kami bertemu di sekitar Taman Ismail Marzuki. Dengan kata lain, antara nama dan sosoknya bersilang-arus dalam pergaulan saya dengannya.

Lebih jauh ke dalam: siapa Yonathan Rahardjo? Apakah ia seorang jurnalis yang selalu “merekam” hampir setiap diskusi sastra dan budaya yang berlangsung di komunitas-komunitas penulis dan pekerja seni Jakarta? Tak lama kemudian saya tahu bahwa ia juga seorang artis, pekerja seni yang bergiat di ranah prosa dan puisi. Tetapi, tunggu dulu, setidaknya saya telah dua kali menyaksikan semacam happening art Yonathan Rahardjo, ketika ia membaca puisi sambil melukis. Salah satunya di Warung Apresiasi Bulungan dalam acara Sastra Reboan.

Kini saya ingat, tiga tahunan silam, ia bersama rekan-rekan penggiat budaya yang mencintai “pluralisme” dan menghargai para penulis marjinal; menggagas adanya medium sastra yang bersifat “non blok” di Bulungan. Seperti yang kemudian menjadi tagline hingga kini, “banyak pintu menuju sastra”, saya kira ada peran Yonathan di sana. Jika kemudian ia surut dari komunitas itu, dengan alasan apa pun, menunjukkan bahwa ia mencintai banyak hal sekaligus ingin mengerjakan banyak hal tanpa ikatan yang justru membelenggunya.

Mari kita lirik sekilas karya-karyanya. Baik yang memenangkan sayembara (novel Lanang, 2008), atau yang dihimpun dari yang terserak dalam banyak media cetak. Cukup mengesankan. Mengapa? Yonathan mengirimkan dan mengumumkan cerpen-cerpennya ke pelbagai nama koran atau majalah atau jurnal atau semacam media berkala yang sebagian besar baru saya kenal namanya. Di mana media cetak itu terbit dan beredar? Ini semacam cara khas yang seolah menghindari pusat. Yonathan begitu peduli pada “daerah pinggiran” dan itu cukup terbaca dengan materi cerpen yang diusung: realitas yang umum terjadi di permukiman urban, persoalan yang muncul di tengah masyarakat yang berjarak (meskipun tinggal di kota besar, tetapi dalam wilayah yang kerap terendam banjir).

Fakta yang lain, tulisannya yang realis itu juga mengisi ruang-ruang baca dalam khazanah relijius. Beberapa nama media itu menunjukkan segmen tertentu dengan khalayak pembaca tertentu. Dari hulu yang sama, sastra, Yonathan mengalirkan buah pikirannya dari hasil memotret lingkungan kehidupannya ke ladang-ladang yang beragam. Saya rasa ia bahkan tak berambisi untuk menjadi ternama oleh sebuah karya, namun lebih menitikberatkan menjadi penyuluh dengan sikap-sikap sederhana. Elan semangatnya ditujukan untuk penyadaran bahwa di tengah masyarakat kita masih (entah sampai kapan) terdapat ketidakadilan, bencana politik, penindasan fisik dan psikis, dan rupa-rupa kejadian yang patut dicermati.

Apakah cara Yonathan mampu mengubah cara berpikir masyarakat (pembacanya)? Pertanyaan klasik ini tak mungkin dijawab dalam kalimat tunggal yang sederhana, selalu perlu disertai dengan disertasi atau argumentasi panjang lebar. Namun, kepeduliannya yang kental itu sudah menjadi bagian hidup yang dijalaninya. Jika dalam amanat seorang muslim, “sampaikan kebenaran walaupun hanya dalam satu ayat”, Yonathan tak kunjung henti mengungkap sisi baik dan sisi buruk yang terjadi di tengah Indonesia dengan cara menulis cerpen atau puisi.

Yonathan tidak sedang membuat masterpiece untuk kemudian mengagungkan satu karya ke mana-mana, tetapi lebih mendekati pembuluh utama dalam kehidupan. Yonathan ingin turut merasakan apa yang sedang berlangsung dari hari ke hari, melalui dua profesinya. Sejatinya ia seorang dokter hewan. Menyusul tiga sastrawan dokter hewan pendahulunya (Marah Rusli, Asrul Sani, dan Taufiq Ismail), Yonathan tidak meninggalkan ilmu dari latar pendidikannya. Setidaknya ia tercatat sebagai salah seorang dari 100 Dokter Hewan Berprestasi dalam rangka 100 Tahun Dokter Hewan Indonesia. Prestasi itu bukan semata tersemat, namun dibuktikan dengan sejumlah tulisan yang membahas perihal dunia kehewanan. Bahkan, saya kira, novel Lanang yang ikut memenangi lomba novel DKJ 2006 juga menyentuh keilmuan tentang hewan.

Dalam bedah buku kumpulan cerpen 13 Perempuan, saya tidak menganalisis dari sisi literasi, agar berbagi sudut pandang dengan Ahmadun Yosi Herfanda. Secara garis besar, tiga belas cerpen yang terkumpul dalam antologi tunggal itu mengusung tema humanis. Ada beberapa cerpen yang bercerita tentang banjir di Jakarta (lingkungan), tanah warisan (keluarga), dan cinta. Tidak ada tokoh superhero di sana, tidak ada pula dominasi karakter tertentu, semua hadir dalam suasana yang realistis. Dan kadang-kadang ironis.

Mengenal Yonathan Rahardjo adalah mengenal pribadi yang rendah hati. Ia bekerja dengan dedikasi yang tinggi (menjadi penulis maupun menjadi ahli hewan), penuh kepedulian dan keterlibatan. Dalam peta sastra Indonesia, Yonathan Rahardjo boleh dicatat sebagai penggiat angkatan 2000-an, dengan tulisannya yang tersebar ke berbagai daerah. Bahkan pada tahun 2009, ia terpilih oleh kurator menjadi penulis Indonesia peserta Ubud Writers and Readers Festival di Bali. Ia memiliki peran dalam sejumlah komunitas sastra, namun seperti saya sampaikan, tidak butuh terikat lantaran jiwanya ingin selalu bebas. Sikap itu akan memudahkannya berkarya tanpa ketergantungan terhadap “konstituen”, sekaligus menghidupkan misinya untuk terus menyalakan suluh memasuki setiap pembuluh kehidupan masyarakat. Dengan pandangan yang egaliter dan independen itu, justru Yonathan jadi produktif.

Mendiskusikan Yonathan Rahardjo, saya kira tidak terbatas mengenai bagaimana cara ia menulis dan menyampaikan gagasan. Tak kalah penting, justru bagaimana ia memosisikan diri  sebagai penulis di hadapan materi yang terhampar dan proses pergulatan antara pikiran dan perasaan. Ia telah cukup intens menyuarakan kaum yang mungkin tidak bahagia dalam kehidupan berat ini, tanpa maksud ingin dipuji atau menjadi “nabi”. Mungkin ada keberpihakan, dan itu pasti punya alasan sebagai penulis yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Deskripsi singkat ini, semoga menjadi umpan yang berhasil untuk sebuah diskusi yang hangat.

***

Jakarta, 16 November 2011
(Makalah ini ditulis untuk bahan diskusi bedah buku 13 Perempuan karya Yonathan Rahardjo di Perpustakaan Umum Banten, 16 November 2011)

No comments:

Post a Comment