Search This Blog

Ashree Kacung: Lapisan Rindu dalam cerpen Cermin Peninggalan

Sumber: http://www.facebook.com/notes/ashree-kacung/lapisan-rindu-dalam-cerpen-cermin-peninggalan/10151084262081691. 
Keterangan Foto: Ashree Kacung (kiri) dan Anas AG saat Launching 3 Buku Terbitan Gus Ris Foundation termasuk Novel Wayang Uripkarya Yonathan Rahardjo di Bojonegoro 20 Oktober 2012

Lapisan Rindu dalam cerpen Cermin Peninggalan .
by Ashree Kacung on Friday, 2 November 2012 at 13:47 ·

Lapisan Rindu dalam cerpen Cermin Peninggalan karya Yonathan Rahardjo*

*Sebuah catatan yang belum selesai

Ngene, ketika diam – diam kita melihat pemikiran yang tertuang baik melalui media apapun, maka disana akan ada struktur. Nah struktur ini tidak hanya satu lapis, akan tetapi bisa berlapis – lapis. Bentuk visual atau gambaran lapisan struktur bisa dilihat pada bangunan yang sudah termanifestasikan. Secara gampang bisa kita sebutkan bahwa manifestasi visual adalah gambaran struktur dari peresapan fenomena.

Sekarang mari kita lihat manifestasi visual dari fenomena yang ditangkap oleh cerpenis. “Satu daun melayang dari ranting pohon jambu biji yang termangu di depan rumah tempat duduk termangunya. //Aku perempuan tua…menakar perjalananku dengan anak perempuanku. (hal. 37)”. Bentuk fenomenanya adalah daun melayang dari ranting, yang kemudian di manifestasikan dengan anak perempuanku.

Secara struktural, anak perempuanku adalah lapis pertama dari daun melayang. Karena jelas akan ada lapis – lapis lain setelahnya. Atau bisa jadi lapis lain itu di picu oleh fenomena yang lain tetapi masih ada hubungannya.

Peristiwa ketika melihat seorang laki – laki berjalan akan memicu ” Aku perempuan kabur mata, melihatnya dengan terbata seperti melihat diri sendiri dalam sosok pejalan kaki itu. (hal 38)” dan “…aku malah ingat dia, lelaki suamiku (hal 39)”. Laki – laki yang berjalan secara simultan membuat struktur lapisan baru berupa sosok suami. Jelas karena keduanya punya hubungan jenis kelamin, yakni sama – sama lelaki.

Tetapi kemudian struktur ini, membuat lapisan kedua berupa “Mas, suamiku, hanya setelah aku ingat tentang anak bungsu kita yang terasing di ujung lain pulau kita. (hal 40)”. Tidak berhenti sampai disini lapisan itu kemudian memicu lapisan ketiga berupa “Begitu mengingatnya, satu-satunya anak perempuan kita, tiba – tiba aku mengingat dirimu dan merasa kita…(hal 41)”.

Lapisan terakhir yang bisa kita sebut adalah “Dan kini, satu – satunya anak perempuan kita, justeru telah menjadi pemimpin iman bagi umat (hal 42)”. Setelahnya hanya ada kesimpulan korelasional diantara lapisan – lapisan tersebut guna menjadi struktur yang utuh.
Struktur yang utuh itu ialah “Kalau aku yang di cerminkan olehnya sudah ada, bukankah kehadiran cermin itu sudah tidak perlu lagi ? (hal 43).” Artinya bahwa satu peristiwa secara kronologis paling tidak bisa menimbulkan empat lapis peristiwa yang begitu korelatif.

Apa gunanya membaca struktur dan lapisan – lapisan peristiwa setelahnya ?

Paling tidak kita akan mengetahui pola pemikiran cerpenis. Kita bisa melihat konstruksi seperti apakah yang akan dibangun di dalam cerpennya. Dengan melihat lapisan – lapisan itu secara detil, sebenarnya dalam ranah pengetahuan kolektif kita akan berpendar sesuatu yang terberi secara begitu saja, atau sebut saja sebagai taken for granted perception. Contohnya adalah daun dan perempuan, otak kita secara tiba – tiba akan menproyeksikan bahwa daun adalah simbol perempuan. Dalam konstelasi berfikir alam bawah sadar kita ternyata sudah tersetting oleh lingkungan alam bahkan kebudayaan. Tidak ada atau jarang sekali lelaki dihubungkan dengan daun. Paling banyak, lelaki dihubingkan dengan ranting atau pohon atau akar. Artinya daun bisa jadi sangat identik dengan feminisme secara kultural.

Kemudian kita juga akan bisa melihat kecenderungan logika. Kebanyakan memang cerpenis menggunakan logika normatif. Penggunaan logika normatif berhubungan erat norma-norma yang ada di dalam masyrakat. Kebanyakan produk sastra punya akses atau lebih mudah menggunakan dogma – dogma normatif dalam penyampaiannya. Entah karena ia hanya mengcapture peristiwa atau memang murni refleksi kepribadian si penulis atau bisa juga juga ada maksud terselubung yang diselundupkan di dalamnya. Logika normatif itu bisa kita lihat melalui hubungan antara, lelaki yang berjalan, suami, anak perempuan dan keimanan. Secara tidak sadar kita juga digiring untuk membuat struktur normatif dalam alam bawah sadar kita. Bahwa keimanan mestinya mampu membuat hubungan keluarga menjadi baik.

Beda misalnya ketika logika yang dipakai adalah logika destruktif. Ketika melihat lelaki berjalan bisa jadi lapisan yang timbul adalah pria idaman lain, anak hasil pereselingkuhan dan keberdosaan. Ternyata logika destruktif tak kita temukan pada cerpen tersebut.

Sekarang mari kita coba melihat alasan kenapa cerpen itu ada dengan segala struktur dan lapisan – lapisannya.
Fenomena berasal dari realitas. Dan realitas itu bisa sejajar atau bahkan sebaliknya. Prosesnya bisa dilihat seperti bahwa:
1.penulis melihat seorang ibu, kemudian di buatlah struktur cerita.
2.Sebaliknya sebagaia lelaki -yang identik dengan ayah-, ia (cerpenis) merindukan sosok ibu. Maka ketika dia melihat sosok ayah dituliskanlah cerita tentang ibu.
3. Penulis merindukan sosok saudara perempuan yang begitu dinanti kedatanganya.
Ketiga peristiwa tersebutlah yang paling mungkin mendasari cerita ini ada. Dan dari ketiga peristiwa tersebut lapisan – lapisan struktur diciptakan untuk kemudian di dalamnya dimasukkan logika normatif.

Kerinduan memang satu hal yang begitu dahsyat, ia bisa dengan sangat tajam membuat sayatan – sayatan ingatan menyembul. Keperihan, kesendirian, kekalutan yang begitu erat dengan rindu membuat sayatan itu semakin nyata. Kekosongan akan semua sosok kini telah begitu kompleks terisi oleh lapisan – lapisan yang memberikan pancaran energi. Kekuatan pancaran energi rindu inilah yang merupakan titik awal manifestasi sebuah karya.

Surabaya, 2 November 2012

No comments:

Post a Comment